BAB 2/3 SEJARAH EKONOMI INDONESIA SEJAK ORDE LAMA HINGGA INDONESIA BERSATU
1) Pemerintahan Orde Lama
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa member perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Karena hingga menjelang akhir 1940-an, Indonesia masih menghadapi dua peperangan besar dengan Belanda, yakni pada aksi Polisi I dan II. Setelah akhirnya pemerintahan Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia, selama decade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965, Indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah, seperti di Sumatera dan Sulawesi. Akibatnya, selama Pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama decade 1950-an, dan setelah itu turun drastic menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966. Tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestic bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%.
Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintahan (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun.
Selain tu, selama periode Orde Lama, kegiatan paroduksi di sector pertanian dan sector industry manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama.
Dapat disimpulkan bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sngat jelek selama rezim tersebut. Dapat dimengerti bahwa dalam kondisi politik dan social dalam negeri ini sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.
Kebijakan ekonomi paling penting yang dilakukan Kabinet Hatta adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional yang pada saat itu masih gukden dan pemotongan uang sebesar 50% atas semua uang kertas yang beredar pada bulan Maret 1950 yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih dari 2,50 gulden Indonesia. Pada masa Kabinet Natsir (cabinet pertama dalam Negara kesatuan Republik Indonesia), untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perencanaan pembangunan ekonomi, yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). RUP ini digunakan oleh cabinet berikutnya merumuskan rencana pembangunan ekonomi lima tahun (yang pada masa Orde Baru dikenal dengan singkatan Repelita). Pada masa Kabinet Sukiman, kebijakan-kebijakan penting yang diambil adalah antara lain nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan system kurs berganda. Pada masa Kabinet Wilopo, langkah-langkah konkret yang diambil untuk memulihkan perekonomian Indonesia saat itu diantaranya untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor, malakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui medernisasi dan pengurang jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah. Pada masa Kabinet Ami I, hanya dua langkah konkret yang dilakukan dalam bidang ekonomi walaupun kurang berhasil, yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat. Selama Kabinet Burhanuddin, tindakan-tindakan ekonomi penting yang dilakukan termasuk diantaranya adalah liberalisasi impor, kebijkan uang ketat untuk menekan laju uang beredar, dan penyempurnaan Program Benteng, mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal (investasi) asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai usaha untuk menghilangkan system ekonomi colonial atau menghapuskan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia.
Berbeda dengan cabinet-kabinet sebelumya di atas, pada masa Kabinet Ali I, praktis tidak ada langkah-langkah yang berarti, selain mencanangkan sebuah rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima Tahun 1956-1960. Kurang aktifnya cabinet ini dalam bidang ekonomi disebabkan oleh keadaa politik di dalam negeri yang mulai goncang akibat bermunculan tekanan-tekanan dari masyarakat daerah-daerah di luar Jawa yang selama itu tidak merasa puas dengan hasil pembangunan di tanah air. Ketidakstabilan politik di dalam negeri semakin membesar pada masa Kabinet Djuanda, sehingga praktis cabinet ini juga tidak bisa berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi. Perhatian sepenuhnya dialihkan selain untuk menghadapi ketidakstabilan politik di dalam negeri juga pada upaya pengambilan wilayah Irian Barat dari Belanda. Pada masa Kabinet Djuanda juga dilakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda.
Dilihat dari aspek politiknya selama Orde Lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami system politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan bahwa system politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik. Konflik politik tersebut berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan untuk membentuk suatu cabinet pemerintah yang solid dan dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya. Pada masa politik demokrasi tu (demokrasi parlemen), tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap cabinet hanya satu tahun saja. Waktu yang sangat pendek dan disertai dengan banyaknya keributan tenang bagi pemerintah yang berkuasa untuk memikirkan bersama masalah-masalah social dan ekonomi yang ada pada saat itu, apalagi menyusun suatu program pembangunan dan melaksanakannya.
Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sector formal / modern seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersil yang memiliki kontribusi lebih besar daripada sector informal / tradisional terhadap output nasional atau PDB didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing kebanyakan berorientasi ekspor. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relative lebih padat capital dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan perusahaan-perusahaan asing tersebut beralokasi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya.
Struktur ekonomi seperti yang digambarkan di atas, yang boleh Boeke (1954) disebut dual socities, adalah salah satu karakteristik utama dari LDCs yang merupakan warisan kolonialisasi. Dualisme di dalam suatu ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung, seperti mengeluarkan peratura-peraturan atau undang-undang, maupun yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang nonpribumi / nonlocal.
Keadaan ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda, menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi pada decade 1950-an. Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, tingkat efisiensi yang tinggi di sector pertanian (termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang dilakukan pada tahun 1957 dan 1958 adalah awal periode ‘Ekonomi Terpimpin’. System politik dan ekonomi pada masa Orde Lama, khususnya setelah ‘Ekonomi Terpimpin’ dicangangkan, semakin dekat dengan haluan / pemikiran sosialis / komunis. Walaupun ideology Indonesia adalah Pancasila, pengaruh ideology komunis dan Negara bekas Uni Soviet dan Cina sangat kuat. Sebenarnya pemerintah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang memilih haluan politik berbau komunis, hanya merupakan suatu refleksi dari perasaan antikolonialisasi, antiimprelisasi, dan antikapitalisasi pada saat itu. Di Indonesia pada masa itu, prinsip-prinsip individualism, persaingan bebas, dan perusahaan swasta / pribadi sangat ditentang, karena oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya, prinsip-prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapat dari Negara-negara Barat, baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya, Indonesia sangat membutuhkan dana penanaman modal asing di Indonesia berasal dari Belanda, yang sebagian besar untuk kegiatan ekspor hasil-hasil perkebunan dan pertambangan serta untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait.
Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya pereknomian Indonesia pada masa pemrintahan Orde Lama juga disebabkan oleh keterbatasan factor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan / keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industry), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan Higgins (1957), sejak cabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industry, unifikasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan factor-faktor tersebut diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi Indonesia setelah perang revolusi tidak pernah terlaksana dengan baik.
Pada akhir September 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politi yang drastic di dalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah system ekonomi yang dianutu Indonesia pada masa Orde Lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak, dapat dikatakan ke system kapitalis sepenuhnya). Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menganut suatu system yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideology Pancasila. Akan tetapi, dalam praktek sehari-hari pada masa pemerintahan Orde Baru dan hingga saat ini, pola perekonomian nasional cenderung memihak system kapitalis, seperti di Amerika Serikat (AS) atau Negara-negara industry maju lainnya. Karena pelaksanaannya tidak baik, maka mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di tanah air yang terasa semakin besar hingga saat ini, terutama setelah krisis ekonomi.
2) Pemerintahan Orde Baru
Tepatnya sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan social di tanah air. Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideology komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter International (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, social, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh Negara-negara Barat. Menjelang akhir tahun 1960-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank Pembangunan Asia) dibentuk suatu kelompok konsorsium yang disebut Inter-Government Group on Indonesia (IGGI), yang terdiri atas sejumlah Negara maju, termasuk Jepang dan Belanda, dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di Indonesia. Dalam waktu yang relative pendek setelah melakukan perubahan system politiknya secara drsatis, dari yang ‘pro’ menjadi ‘anti’ komunis, Indonesia mendapat bisa mendapat bantuan dana dari pihak Barat. Pada saat itu memang Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang sangat anti komunis dan sedang berusaha secara serius melakukan pembangunan ekonominya yang kelihatan jelas di mata kelompok Negara Barat.
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menganggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.
Beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yaitu sebagai berikut.
a. Kemauan politik yang kuat
Pada masa Orde Lama, mungkin karena Indonesia baru saja merdeka, emosi nasionalisme baik dari pemerintah maupun kalangan masyarakat masih sangat tinggi, dan yang ingin ditonjolkan pertama kepada kelompok Negara-negara Barat adalah “kebesaran bangsa” dalam bentuk kekuatan militer dan pembangunan proyek-proyek mercusuar.
b. Stabilitasi politik dan ekonomi
pemerintahan Orde Baru berhasil dengan baik menekan tingkat inflasi dari sekitar 500% pada tahun 1966 menjadi hanya sekitar 5% hingga 10% pada awal decade 1970-an. Pemerintahan Orde Baru juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok-kelompok masyarakat serta menyakinkan mereka bahwa pembangunan ekonomi dan social adalah jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat.
c. Sumber daya manusia yang lebih baik
Dengan SDM yang semakin baik, pemerintahan Orde Baru memiliki kemampuan untuk menyusun program dan strategi pembangunan dengan kebijakna-kebijakn yang terkait serta mampu mengatur ekonomi makro secara baik.
d. System politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat
Pemerintahan Orde Baru menerapkan system politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat. Hal ini sangat membantu, khususnya dalam mendapatkan pinjaman luar negeri, penanaman modal asing, dan transfer teknologi dan ilmu pengetahuan.
e. Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Selain oil boom, juga kondisi ekonomi da politik dunia pada era Orde Baru, khususnya setelah perang Vietnam berakhir atau lebih baik daripada semasa Orde Lama.
Akan tetapi, hal-hal positif yang diterangkan di atas tidak mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru tanpa cacat. Kebijakan-kebijakan ekonomi selama masa Orde Baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta fundamental ekonomi yang rapuh.
3) Pemerintahan Transisi
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dollar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ‘jual’. Untuk mempertahankan nilai tukar baht agar tidak jatuh terus, pemerintah Thailand melakukan intervensi dan didukung juga oleh bank cetral Singapura. Akan tetapi pada hari Rabu, 2 Juli 1997, bank central Thailand terpaksa mengumumkan bahwa nilai tukar baht dibebaskan dari ikatan dengan dollar AS. Sejak itu nasibnya diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Hari itu juga pemerintah Thailand meminta bantuan IMF. Pengumuman itu mendepresiasikan nilai baht sekitar 15% hingga 20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 baht per dollar AS.
Sekitar bukan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah buruk, pemerintah orde baru mengambil beberapa langkah konkret, di antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya mengimbang keterbatasan anggaran belanja Negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut.
Pada pertengahan tahun 1998, atas kesepakatan dengan IMF dibuat lagi memorandum tambahan tentang kebijaksanaan ekonomi dan keuangan. Akan tetapi, strategi menyeluruh stabilisasi dan reformasi ekonomi adalah tetap seperti yang tercantum dalam memorandum kebijaksanaan ekonomi dsan keuangan yang ditandatangani pada tanggal 15 Januari 1998. memeorandum tambahan ini memutakhirkan dokumen yang terdahulu untuk menampung perubahan-perubahan yang terjadi setelah Januari 1998 pada situasi perekonomian makro dan prospeknya, serta menunjukkanbidang-bidang yang strateginya perlu disesuaikan, diperluas, atau diperkuat.menjelang minggu-minggu terakhir bulan Mei 1998, DPR untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai/diduduki oleh ribuan mahasiswa/siswi dari puluhan perguruan tinggi dari Jakarta dan luar Jakarta. Puncak dari keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut, disatu pihak, dan dari krisis politik di pihak lain, adalahb pada tanggal 21 Mei 1998, yakni presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya, B.J. Habibie. Tanggal 23 Mei 1998,presiden Habibie membentuk kabinet baru, awal dari terbentuknya pemerintahan transisi,
Ada awalnya pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerinthan reformasi. Akan tetapi setelah setahun berlalu, masyarakat mulai melihat bahwa sebenarnya pemerintahan baru ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.mereka juga orang-orang rezim orde baru, dan tidak ada perubahan-perubahan yang nyata.bahkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) semakin menjadi-jadi, kerusuhan muncul dimana-mana, dan masalah stidak terselesaikan.
4) Pemerintahan Reformasi
Pada pertengahan tahun 1999 dilakukan pemilihan umum, yang akhirnya dimenangi oleh partai demokrasi perjuangan (PDI-P). partai golkar mendapat posisi kedua, yang sebenarnya cukup mengejutkan banyak kalangan di masyarakat. Bulan oktober 1999 dilakukan SU MPR dan pemilihan presiden diselenggarakan pada tanggal 20 oktober 1999. KH Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan sebutan Gus Dur terpilih sebagai presiden RI keempat dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden. Tanggal 20 oktober menjadi akhir dari pemerintahan transisi, dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang sering disebut juga pemerintahan reformasi.
Pada awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh presiden Wahid, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor, termasuk invewstor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gus Dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasakahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti korpsi, kolusi dan nepotisme (KKN), supremasi hokum, hak asasi manusia (HAM), penembakan tragedi trisakti, semanggi I dan II, peranan ABRI di dalam politik, dan masalah disintegrasi.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indicator ekonomi. Misalnya pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang negative. Dalam perkataan lain, selama periode tersebut, IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat pada umumnya terhadap prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek.
5) Pemerintahan Gotong Royong
Setelah presiden wahid turun, Megawati menjadi presiden Indonesiayang kelima. Pemerintahan megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gus Dur. Meskipun IHSG dan nilai tukar rupiah meningkat cukup signifikan sejak diangkatnya megawati menjadi presiden melalui sidang istimewa (SI) MPR, posisinya tetap belum kembali pada tingkat pada saat Gus Dur terpilih menjadi presiden.
Pada tahun 2002 kondisi perekonomian Indonesia sedikit lebih baik daripada tahun 2001, walaupun menjelang akhir tahun 2002 indonesia diguncang dengan bom bali. Menurut data BPS yang dikeluarkan pada bulan februari 2003, pertumbuhan PDB tahun 2002 sebesar 3,66%, di atas nilai perkiraan minimum yakni 3,33%, tetapi lebih rendah dari asumsi dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) tahun 2002 yang direvisi menjadi 4% setelah tragedi bali.
Dari pihak Indonesia, pemerintah sendiri menargetkan 4%, setelah direvisi dari target semula 5% dalam rencana APBN (RAPBN) 2003, setelah bom bali. Menurut BPS, pada triwulan I dan II tahun 2003 dampak peledakan bom bali masih akan terasa. Namun, kalau pemerintah melakukan banyak stimulus (termasuk penambahan anggaran pembangunan dalam RAPBN 2003 pasca bom bali) umtuk meningkatkan kegiatan-kegiatan ekonomi domestic dan ekspor, ditambah lagi dengan situasi dalam negeri bias benar-benar kondusif.
6) Pemerintahan Indonesia Bersatu
Pada bulan-bulan pertama pemerintahan SBY, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar dan dalam negeri maupun Negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia seperti IMF, bank dunia dan ADB sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan akan jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser. Bahkan cabinet SBY dan lembaga-lembaga dunia tersebut menargetkan prtumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2005 akan berkisar sedikit di atas 6%. Perkiraan ini dilandasi oleh asumsi bahwa kondisi politik di Indonesia akan terus mambaik dan factor-faktor eksternal yang kondusif(tidak memperhitungkan akan adanya gejolak harga minyak di pasar dunia), termasuk pertumbuhan ekonomi dari motor-motor utama penggerak perekonomian dunia seperti AS, Jepang, EU, dan China akan meningkat.
Kenaikan harga BBM di pasar internasional dari 45 dollar AS per barrel awal tahun 2005 mencapai 70 dollar AS per barrel awal agustus 2005 sangat tidak menguntngkan Indonesia, tidak seperti pada masa oil boom pertama tahun 1973 dan kedua awal dekade 80-an. Walaupun Indonesia merupakan salah satu anggota OPEC, Indonesia juga impor BBM terbesar di Asia, jauh melebihi impor BBM Jepang yang bukan penghasil minyak. Kombinasi antara kenaikan harga BBM dan melemahnya nilai rupiah akan berdampak pada peningkatan laju inflasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar